Cindai.id _ Abdul Malik
ADA dua bait di dalam Gurindam Dua Belas (Haji, 1847) disediakan khusus oleh Raja Ali Haji rahimahullah yang secara tersirat menjelaskan konsep bangsa di dalam karya agung beliau itu. Yang pertama terdapat pada Pasal yang Kelima, bait 1 (Malik et al., 2011), yang menghala kepada bangsa yang bermutu.
Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
Bait gurindam di atas menyiratkan amanat bahwa setiap orang seyogianya mengenal bangsanya. Ciri-ciri setiap bangsa itu pertama terletak pada budinya, yang meliputi sifat, sikap, dan perilaku dan kedua pada kesamaan serta kehebatan bahasanya. Budi dan bahasa itu membentuk karakter setiap bangsa. Itulah maujud yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa yang lain. Budi dan bahasa itu secara bersamaan dan bertimbal balik membentuk karakter bangsa. Dalam hal ini, yang diidealkan adalah bangsa yang berkarakter kokoh dan unggul.
Pada Pasal yang Kelima, bait 2, dijelaskan pula bahwa setiap anak bangsa tak menyia-nyiakan dirinya dalam kehidupan berbangsa. Hal itu dipertegas lagi dalam Pasal yang Kesebelas, bait 1 (Haji, 1847; Malik et al., 2011).
Hendaklah berjasa
Kepada yang sebangsa
Bait gurindam di atas menekankan amanat bahwa setiap anak bangsa seyogianya berbuat jasa dan atau berbakti kepada bangsanya. Dengan demikian, setiap orang bertanggung jawab terhadap bangsanya. Dengan paham kebangsaan seperti itu, setiap anak bangsa akan berupaya dan bertanggung jawab untuk memajukan bangsanya.
Di dalam karya beliau Tsamarat al-Muhimmah (1859), Raja Ali Haji menegaskan pemikiran beliau bagi setiap anak bangsa dalam syair nasihat, bait 61 (Malik (Ed.), 2013; Mahdini, 1999).
Tiliklah [per-]edaran dunia
Zaman dahulu bagaimana khabarnya
Zaman sekarang apa rupanya
Berlain-lain ilmu pandainya
Dengan bait syair di atas, ditegaskan mustahaknya setiap anak bangsa mengikuti perkembangan zaman untuk memajukan negara dan bangsanya. Berhubung dengan itu, mereka harus menuntut dan mengembangkan ilmu-pengetahuan yang diperlukan agar dapat berbakti kepada negara dan bangsanya secara optimal. Pasalnya, dunia ini terus saja berkembang dan berubah sehingga diperlukan anak bangsa yang terdidik untuk mengelola dan mempertahankan bangsa dan negaranya. Dalam hal ini, dituntut kesetiaan anak bangsa terhadap bangsa dan negara seperti yang tercantum dalam Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kelima, bait 2, di atas.
Di dalam ungkapan dan petuah adat Melayu pula, diajarkan dan ditularkan wawasan kebangsaan dan tanggung jawab setiap anak bangsa terhadap negara dan bangsanya.
Kalau berjalan beriringan
Yang dulu jangan menunjang
Yang tengah jangan membelok
Yang di belakang jangan menumit
Yang tua memberi nasihat
Yang alim memberi amanat
Yang berani memberi kuat
Yang kuasa memberi daulat
Yang lupa diingatkan
Yang bengkok diluruskan
Yang tidur dijagakan
Searang dibagi-bagi
Sekuman dibelah-belah
Ditimbang sama berat
Diukur sama panjang
Lapang sama berlega
Sempit sama berhimpit
Lebih beri-memberi
Kurang isi-mengisi
Pantun Melayu juga sangat banyak mengandungi ajaran dan nilai-nilai wawasan kebangsaan. Di antaranya terdapat di dalam pantun karya Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau yang dimuat dalam buku antologi pantun pertama di dunia, Perhimpunan Pantun Melayu, yang diterbitkan oleh W. Bruining, Batavia (Ibrahim, 1877).
Teruntum sedang berbunga
Teratak buluh sampaian kain
Kalau untung tuan yang punya
Manakan boleh kepada yang lain
Teratak buluh sampaian kain
Kain celari tepi bersuji
Masakan boleh kepada yang lain
Jika sudah di situ janji
Kain celari tepi bersuji
Lalu disimpai kepada galah
Jika sudah di situ janji
Hajat pun lalu disampaikan Allah
Pantun karya Haji Ibrahim di atas menjelaskan bahwa negeri ini (baca: Indonesia) adalah milik bangsa Indonesia, milik kita, bukan milik bangsa lain. Bumi dan airnya memang dianugerahkan oleh Allah kepada bangsa kita. Oleh sebab itu, ianya harus dipertahankan dan pantang menyerahkan warisan nenek-moyang kita yang hebat ini kepada bangsa lain.
Jika anugerah Allah itu dijaga, dirawat, dikembangkan, dan dipertahankan dengan baik, sampai ke tetesan darah yang penghabisan, cita-cita luhur bangsa kita, yang terhimpun di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, akan dikabulkan oleh Allah. Itulah amanat mulianya.
Di dalam pantun pusaka lain disebutkan bahwa semua anak bangsa, termasuk dan terutama para pemimpin, wajib menjaga negeri dan bangsanya. Jika tanggung jawab itu dilaksanakan dengan baik, rakyat akan rela mempertahankan tanah airnya walaupun harus mempertaruhkan jiwa dan raga mereka.
Kalau roboh Kota Melaka
Papan di Jawa kami dirikan
Kalau sungguh bagai dikata
Nyawa dan badan kami serahkan
Memperhatikan kearifan lokal Melayu tentang wawasan kebangsaan yang diperikan di atas, pemikiran dan konsepnya saling tak tumpah dengan konsep yang pernah disimpulkan oleh Almarhum Prof. Dr. H. Muladi, S.H., Gubernur Lemhannas RI 2005-2011 (Lemhannas, 2021). Dalam hal ini, wawasan kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah, dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sangat benarlah adanya. Wawasan kebangsaan kita telah lama dikumandangkan dan diamanahkan oleh nenek-moyang kita. Di antaranya mereka menempatkannya di dalam kearifan lokal. Kesemuanya terhimpun dalam pelbagai karya yang indah-indah, lisan dan tulisan, sehingga dapat dihayati oleh segenap anak bangsa dari masa ke masa dengan pikiran dan nurani yang jernih, terbuka, dan tentu kesatria.
Maka itu, amat memalukan sesiapa pun pernah berniat atau berupaya membelokkan dan atau mengubahkan dia. Apa pun alasannya.***