Batam (Cindai.id) _ Hampir 7000 ton Batok Kelapa milik PT. Batindo Makmur Abadi (BMA) dilaporkan telah melakukan ekspor ke negara China melalui Pelabuhan Batu Ampar, Kota Batam, meski tidak dilengkapi Sertifikat Fitosanitari (Phytosanitary Certificate) sebagaimana diwajibkan dalam ketentuan karantina tumbuhan.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, pengapalan batok kelapa tersebut tetap diberangkatkan setelah memperoleh dokumen pelayaran dan kepabeanan, sementara dokumen karantina tumbuhan tidak terlihat dalam rangkaian persyaratan ekspor. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mengenai mekanisme pengawasan lintas instansi.
Baca Juga: Kuat Dugaan PT. BMA Ekspor 7000 Ton Batok Kelapa ke China Tanpa Sertifikat Fitosanitari
Produk Berisiko Membawa Hama
Batok kelapa merupakan produk turunan pertanian yang berpotensi membawa Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) seperti serangga, jamur, maupun patogen lain. Karena itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, setiap media pembawa OPT yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan dan dilengkapi Sertifikat Fitosanitari.
Selain itu, ketentuan teknis dalam peraturan pelaksana mengatur bahwa produk tumbuhan tertentu harus mendapat perlakuan karantina, termasuk fumigasi atau metode lain, sebelum dapat diekspor ke negara tujuan.
Baca Juga: Belum Memiliki Izin, Pelabuhan Jetty ini Sudah Lakukan Kegiatan Bongkar Muat
Dikatakan Dokumen Lengkap, Karantina Dipertanyakan
Dalam praktik di lapangan, muatan batok kelapa tersebut disebut telah mengantongi dokumen kepelabuhanan dan kepabeanan, seperti Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dan Nota Pelayanan Ekspor (NPE). Namun, keberadaan Sertifikat Fitosanitari sebagai dokumen karantina masih dipertanyakan.
Padahal, dalam sistem ekspor nasional, Sertifikat Fitosanitari merupakan persyaratan khusus (lartas teknis) yang tidak dapat digantikan oleh dokumen dari instansi lain.
Baca Juga: Jejak Ijazah A, B dan C Bupati Anambas, Mengungkap Perizinan PKBM Mawar Batam
Konfirmasi ke Instansi Terkait
Untuk memastikan informasi tersebut, redaksi melakukan konfirmasi kepada sejumlah instansi berwenang.
Kepala Balai Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan Kepulauan Riau, Hasim, S.Pi., M.Pi saat dikonfirmasi membenarkan bahwa pihaknya tidak ada menerbitkan Sertifikat Fitosanitari.
“Kita tidak ada menerbitkan fitosanitari setelah saya cek kepada Katimja (Kepala Tim Kerja) karantina tumbuhan. Sementara ini kami lagi menelusuri pengurus kapal tersebut,” terangnya, Rabu (17/12/2025).
Sementara itu, melalui Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan (BKLI) Bea dan Cukai Batam, Evi Octavia membenarkan ada kegiatan ekspor Batok Kelapa tersebut.
“Setelah di chek perusahaan tersebut memang melakukan aktifitas ekspor dan ada dokumennya. Tapi kami tetap akan melakukan penelitian dan pengawasan ekstra terkait kegiatan ini,” jawabnya.
Selanjutnya, terkait dengan Sertifikat Fitosanitari dari Karantina apakah termasuk bagian dari syarat dan kelengkapan yang diwajibkan untuk mendapatkan dokumen ekspor dari Bea Cukai. Evi lebih mengarahkan jawaban ke sistem aplikasi milik Bea Cukai.
Baca Juga: KKP Segel Lima Lokasi Pemanfaatan Ruang Laut Tidak Sesuai Ketentuan
“Persyaratan kelengkapan dokumen ada di aplikasi INSW (Indonesia National Single Window) sepanjang dipersyaratkan maka kami akan mintakan kelengkapannya. Walaupun ekspor kalau atas HS (Harmonized System) – nya masuk lartas, akan masuk AP atau otomatis rekonsiliasi dengan perijinannya di INSW dulu, mengingat HS-nya ini bukan lartas maka prosesnya langsung,” tambahnya.
Pihak Pos Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan (KSOP) Batu Ampar, Ismet Sihombing memberikan keterangan mengenai dasar penerbitan Surat Persetujuan Berlayar terhadap kapal pengangkut muatan tersebut.
“Secara administrasi kapal itu sudah memenuhi persyaratan. Kitakan di keselamatan aja. Kan disitu ada beberapa lembaga, ada Karantina, Imigrasi, Bea Cukai baru kita KSOP. Jadi setelah mereka memenuhi semua syarat disitu, secara sistem sudah terpenuhi, sudah di Approval (persetujuan, pengesahan, atau izin resmi untuk suatu hal agar dapat dilanjutkan atau dieksekusi) mereka, baru mereka bisa naik ke kita, ke KSOP,” ungkapnya.
Risiko Lingkungan dan Reputasi Ekspor
Selain berpotensi melanggar ketentuan nasional, ekspor tanpa Sertifikat Fitosanitari juga berisiko ditolak negara tujuan. Penolakan tersebut tidak hanya berdampak pada eksportir, tetapi juga dapat mencoreng reputasi sistem ekspor Indonesia di mata internasional.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan terpadu dan kepatuhan terhadap regulasi karantina, khususnya untuk produk-produk pertanian dan turunannya yang berisiko membawa hama.
Redaksi masih membuka ruang klarifikasi dari seluruh pihak terkait dan akan terus menelusuri perkembangan kasus ini. (Red)



