Nasional (Cindai.id) _ Sikap bungkam Gubernur Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Ansar Ahmad terkait maraknya penerbitan izin tambang Pasir Silika dan Pasir Darat di pulau-pulau kecil, salah satunya di Pulau Subi Besar, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri mendapat kritik keras Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati.
Baca Juga: Miris, Hampir Keseluruhan Pulau Subi Besar Jadi Wilayah Tambang Pasir Silika
Sekjen KIARA yang juga keras mengkritik persoalan pagar laut tanpa izin di perairan Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten ini menganggap Pemerintah Provinsi Kepri tidak berdiri bersama masyarakat.
“Sebenarnya gambaran bagaimana para pelayan publik ini punya perilaku. Alih-alih berdiri bersama masyarakat pesisir, malah kemudian hari ini mendorong keluarnya izin tambang. Walaupun mereka tahu bahwasanya pulau kecil ini tidak boleh ditambah sesuai Undang-undang (UU) nomor 1 Tahun 2014 perubahan UU nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tegas Susan.
Baca Juga: Hampir 80% Pulau Subi Besar Dikuasai Izin Tambang: Di Mana Masa Depan Warga dan Lingkungan?
“Jadi pulau-pulau kecil ini sebenarnya tidak boleh ditambang dan kami merasa bukan hanya pulau kecil, yang namanya pesisir, laut baiknya tidak boleh dieksploitasi. Karena ini ruang hidup nelayan. Tempat mereka tinggal, daerah mereka cari rezeki. Dan pengalaman kami, para pelayan publik yang kemudian secara serampangan mengeluarkan izin-izin tambang,” lanjutnya.
Susan juga menyoroti potensi kemiskinan secara terstruktur jika pelarangan yang dituangkan didalam aturan ini dilanggar pihak Pemerintah. Meskipun dengan dalil peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Pemerintah secara sengaja merampas ruang hidup para nelayan dan tentunya akan mendorong kemiskinan secara terstruktur. Mereka adalah pelaku kejahatan terutama dan seharusnya mereka malu. Secara aturan jelas-jelas dilarang. Dan ini tidak diperuntukkan untuk mensejahterakan nelayan dan perempuan nelayan,” tambahnya.
Baca Juga: Patut Diduga Izin Tambang Silika Pulau Subi Besar Menerobos Undang-Undang, Gubernur Kepri Bungkam
“Apa yang dikeluarkan hari ini dan dianggap sebagai sesuatu hal untuk meningkatkan APBD atau apakah namanya itu, benar-benar menjadi seperti penumpukan kapital untuk segelintir orang, atau penumpukan kekayaan untuk segelintir orang. Siapa yang kita perkaya, yaitu perusahaan-perusahaan tambang. Karena kalau kerusakan, daerah yang di tambang ini sudah barang tentu sangat luar biasa,” imbuhnya.
Lebih lanjut Susan menerangkan belajar dari pengalaman KIARA, satu yang pasti, tidak ada daerah yang wilayahnya habis untuk dieksploitasi tambang kemudian menjadi kaya. Tidak bisa bertumpu pada industri ekstraktif seperti tambang.
“Apapun yang sudah ditambang, biasanya susah untuk di restorasi atau direhabilitasi kembali. Karena memang lautan rusak, pesisir rusak dan pulau yang rusak. Sudah pasti akan butuh mungkin puluhan tahun sampai 7 turunannya si para pejabat-pejabat ini baru bisa pulih itupun sukur-sukur boleh, kayaknya sulit,” lanjutnya.
Baca Juga: Terkait Sedimentasi atau Tambang Pasir Laut, Sekjen KIARA Minta Menteri KKP Diganti
Selanjutnya, belajar dari Pulau Obi kata Susan, bagaimana Pulau Obi tersebut sudah sangat rusak gara-gara tambang. Apakah sekelas pelayan publik tak mau berkaca dari kasus-kasus tambang di pulau-pulau kecil kemudian menggusur ruang hidup nelayan.
“Menjadi pendidikan politik buat kawan-kawan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Bagaimana gambaran dari para pelayan publik yang harusnya berdiri bersama rakyat, ternyata tidak seperti itu perilakunya. Tamak dan tidak mementingkan kebutuhan nelayan. Ini menjadi pelajaran politik paling mahal yang harusnya kita pahami sebagai kesadaran ke depan. Kita terus mengawasi dan harus menjaga dan melakukan perlawanan,” tegas Sekjen KIARA ini.
Selanjutnya menurut Susan, jika kita bicara soal dampak, sudah pasti tambang-tambang ini akan menjebak nelayan dalam kemiskinan yang terstruktur. Masyarakat yang di pulau-pulau ini akan beralih profesi dan tidak akan menutup kemungkinan mereka akan berujung pada migrasi atau berpindah dari pulau-pulau ini.
“Kenapa seperti itu, karena memang Pulau itu sudah pasti rusak dan tidak mungkin untuk diperbaiki dalam waktu yang cukup singkat itu yang harusnya dipikirkan”.
Baca Juga: Prof Agung Dhamar Syakti: Sebagai Pakar Saya Tidak Mendukung Tambang Pasir Laut di Kepri
“Kita butuh kawan-kawan di Pulau ini yang kemudian melakukan penolakan kalau tambang ini masuk. Kalau kemudian kawan-kawan di Pulau ini diiming-imingi ini, mendapatkan ganti rugi, yang namanya juga ganti rugi, sudah pasti masyarakat yang rugi dan perusahaan yang untung. Dan selain itu juga kalau diiming-imingi mereka akan bekerja di tambang, itu kita bisa lihat dari beberapa pelajaran berharga dari kasus-kasus tambang. Biasanya orang-orang yang diajak bergabung di perusahaan itu tidak lebih dari lima persen dari masyarakat, sisanya mereka akan terkatung-katung dan terasing dari ruang hidupnya,” terang Susan.
Pada prinsipnya, Susan berharap untuk masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil, apapun iming-iming yang hari ini masuk di wilayah mereka sudah sepantasnya untuk menolak. Karena tindakan para pelayan publik ini adalah tindakan inkonstitusional yang melanggar putusan MK nomor 3 tahun 2010.
“Bagaimana negara seharusnya melindungi hak masyarakat pesisir, mengontrol, mengakses, menjalankan tradisi nelayan. Hak mendapatkan perairan yang bersih dan sehat. Kalau sudah ada tambang sudah pasti hak-hak konstitusi ini akan hilang,” tuturnya.
Baca Juga: Guru Besar IPB University: Kepri Jadi Pelabuhan Terbesar di Dunia atau Pulau Hilang
Lebih tegas Susan menyampaikan pesanya untuk para pelayan publik yang kemudian membiarkan dan untuk Gubernur Kepri yang kemudian bungkam, seharusnya segera melakukan pertobatan nasuha.
“Maksudnya tobatlah, karena memang tidak pernah ada kemakmuran, kesejahteraan kalau pulau-pulau ini ditambang. Yang ada kita menciptakan kiamat baru. Ekosida baru yang akan membuat kawan-kawan semakin miskin. Dan ini akan menjadi tanggung jawab negara”.
“Gubernur bisa saja bungkam karena mereka itu masa jabatannya cuma 5 tahun. Setelah itu mereka bisa keluar dengan tanpa rasa empati. Dan ini sebenarnya harusnya malu gubernur kalau hanya bisa bukam. Berarti kita tahu bahwa gubernur hari ini adalah gubernur pro tambang,” tutup Sekjen KIARA ini. (Red)