Natuna (Cindai.id) _ Penerbitan 11 izin tambang pasir silika di Pulau Subi Besar, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, kian menuai sorotan. Dari hasil penelusuran tim investigasi, proses penerbitan izin diduga kuat melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Ironisnya, hingga berita ini diturunkan, Gubernur Kepulauan Riau memilih bungkam dan enggan memberikan keterangan resmi.
Baca Juga: Hampir 80% Pulau Subi Besar Dikuasai Izin Tambang: Di Mana Masa Depan Warga dan Lingkungan?
Potensi Pelanggaran Hukum
Pulau Subi Besar memiliki luas sekitar 110 km² (11.000 hektar). Dari total wilayah tersebut, lebih dari 8.000 hektar atau sekitar kurang dari 80% telah di kapling ke dalam konsesi 11 perusahaan tambang pasir silika. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar, sebab beberapa aturan hukum jelas membatasi eksploitasi pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir.

Adapun dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang ditemukan antara lain:
Undang-undang (UU) nomor 1 Tahun 2014 perubahan UU nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada pasal 23 ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa pemanfaatan pulau kecil wajib memprioritaskan kepentingan konservasi, pendidikan, dan pariwisata berkelanjutan, bukan untuk pertambangan.
Dengan kurang dari 80% wilayah Pulau Subi Besar masuk ke izin tambang, jelas terdapat pelanggaran serius terhadap amanat UU ini.

Baca Juga: Guru Besar IPB University: Kepri Jadi Pelabuhan Terbesar di Dunia atau Pulau Hilang
Berikutnya didalam Undang-undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, sangat tidak masuk diakal penguasaan izin tambang Silika di Pulau Subi Besar. Sebab didalam Pasal 18 menyebutkan bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan/ atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya. Pasal 15 menegaskan kegiatan tambang hanya dapat dilakukan jika tidak merusak ekosistem dan keberlangsungan hidup masyarakat setempat.
Lebih lanjut, Ketentuan maksimal 70% pemanfaatan untuk usaha dan minimal 30% untuk ruang terbuka hijau (RTH) di pulau kecil diatur pada pasal 11 Peraturan Presiden nomor 34 Tahun 2019 kemudian Pasal 9-10 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 10 Tahun 2024 serta Pasal 10 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 8 Tahun 2019 memuat aturan teknis serupa untuk pemanfaatan pulau kecil dan perairan di sekitarnya.
Baca Juga: Prof Agung Dhamar Syakti: Sebagai Pakar Saya Tidak Mendukung Tambang Pasir Laut di Kepri
Tanggapan Pemerintah Natuna
Camat Subi, Syarifuddin melalui sambungan telepon kepada awak media ini hanya mengetahui ada satu perusahaan yang berkoordinasi dengan pihak kecamatan.
“Yang pernah berhubungan dengan kami pihak Kecamatan hanya satu perusahaan saja. PT. EMKA, berapa hektare luasnya saya belum paham juga,” terangnya.
“Kemaren sudah ada semacam sosialisasi, mungkin konsultasi publik ya, tapi AMDALnya belum. Itu dari PT. EMKA juga,” lanjut Camat Subi ini.
Lain halnya dengan Rudiyansyah, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PU) Kabupaten Natuna. Saat ditanyakan terkait 11 perusahaan yang sudah mengajukan atau mengantongi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) Darat, dirinya tidak mengetahui pasti dan harus menunggu izin dari Kepala Dinas terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan pasti kepada awak media ini.
” Saya lupa juga tu berapa ya, ada beberapa sih”.
” Kalau berkaitan data, saya mesti minta izin Kadis dulu, nanti saya sampaikan ke beliau dulu,” jawabnya.
Sampai berita ini ditayangkan, Gubernur Kepri Ansar Ahmad, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Muhammad Darwin serta Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Hasfarizal Handra kompak bungkam. (Red)