Kepri (Cindai.id) _ Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut serta diperkuat dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) Nomor 33 Tahun 2023 tentang Tata Cara dan Persyaratan Perizinan Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut menuai kritik dan aksi dari berbagai elemen masyarakat.
Aksi demonstrasi ratusan nelayan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) pada Kamis, 15 Mei 2025 menolak pengerukan sedimentasi atau tambang pasir laut, juga turut menghiasi PP yang diterbitkan di era presiden ke – 7.
Baca Juga: Guru Besar IPB University: Kepri Jadi Pelabuhan Terbesar di Dunia atau Pulau Hilang

Ditemui di ruang kerjanya, Kampus Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Jalan Raya Dompak, Tanjungpinang, Provinsi Kepri, Prof Agung Dhamar Syakti kepada Cindai.id turut menanggapi persoalan rencana pengerukan sedimentasi atau tambang pasir laut ini.
“Pasir itu kita ambil, kita jual untuk kemaslahatan masyarakat dan pembangunan. Nah yang jadi masalah adalah praktek pelaksanaanya. Sudah banyak preseden yang menunjukkan bahwa kegiatan itu sendiri pada akhirnya hanya merusak. Ada menguntungkan, tapi hanya kelompok terbatas,” ungkapnya pada Rabu (21/05/2025).
“Bahkan masyarakat yang disekitaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terdampak langsung, sedikit mendapatkan benefit (manfaat atau keuntungan). Ada beberapa pihak yang diberikan kompensasi, tapi tidak membuat nilai secara kemaslahatan menyeluruh,” tambah Rektor Kampus Umrah ini.
Baca Juga: Terkait Sedimentasi atau Tambang Pasir Laut, Sekjen KIARA Minta Menteri KKP Diganti
Lebih lanjut, Prof Agung lebih menekankan pengupayaan sumber daya alam Kepri yang berkelanjutan.
“Jika bercerita tentang pasir laut, untuk Kepri sendiri yang merupakan provinsi maritim, provinsi kepulauan, 96% wilayah perairan, semua hal bisa diupayakan. Nah, kita pengen, pengupayaan sumber daya alam ini yang sustainable (berkelanjutan). Yang diutamakan adalah memanfaatkan keindahan alam kita dengan terumbu karangnya, lamunnya, biota-biota yang hampir punah dan dilindungi. Dengan pasir laut, mana yang lebih sustainable, pengupayaan SDA (Sumber Daya Alam) ini? ” ungkapnya.
“Saya sebagai Expert (pakar atau ahli) tidak mendukung tambang pasir laut di Kepri. Karna Kepri sendiri pulaunya banyak, berdekat-dekatan. Jadi kalau tambang disini, yang 10 mil dari sini bakal terdampak juga,” tegas Guru Besar Bidang Pencemaran Laut dan Bioremediasi ini.
Baca Juga: Tambang Pasir Laut, Untung Sementara atau Nelayan Merana Selamanya?
Sebelumnya, Prof Agung bersama tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selama lima tahun pernah mensurvei terumbu karang se -Kepri.
“Saya pernah uji coba partikel-partikel kecil, sampai seberapa jauh dia berjalan terbawa arus. Ada bagian tertentu yang ukurannya kurang dari satu mikro, itu bisa 5 hari berjalan di lautan, tergantung arus membawanya kemana”.
“Misalnya di daerah jauh sana ada terumbu karang kita, terumbu karang itu jika tempat penempelannya terhambat oleh debu-debu pasir sedimentasi, itu bisa membuat karang menjadi tidak berkembang,” lanjutnya.
Baca Juga: Tambang Pasir Laut di Perairan Kepri Berpotensi Rusak Ekosistem Maritim
“Kita pernah melakukan monitoring bersama LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), lima tahun kita mensurvei terumbu karang se -Kepri, itu tidak begitu bagus, semuanya di angka 20% hingga 40%, karna tidak bisa berkembang lebih baik lagi, karna selalu ada gangguan dari lingkungan. Tempat yang bisa nempel lavanya itu tempat yang bersih dan karang bisa tumbuh. Namun kalau ketutup oleh serbuk-serbuk atau debu-debu pasir atau lumpur-lumpurnya, pasti akan mengganggu perkembangan terumbu karang,” tutur Prof Agung.
“Jadi kalau secara ego keilmuan, jangan lah nambang pasir laut ditempat kita. Karna kita mau mempertahankan terumbu karang kita serta biota-biota laut lainnya,” tegasnya lagi.
Baca Juga: Ketum Cindai, Ada Potensi Tumpang Tindih HPL Transmigrasi Dengan Bandara Letung dan PT. KJJ
Pada satu kesempatan pertemuan di Batam, Prof Agung yang juga pernah menjabat sebagai Senior Scientist Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan–IPB dan Pusat Studi Biosains Maritim- UNSOED, menyampaikan bahwasanya kita sepakat merusak lingkungan kita untuk membangun daerah kita. Namun harus ada hasil yang pasti, karna ada nilai komersil dari penjualan pasir laut. Salah satunya untuk membangun Kepri dan memperbaiki lingkungan yang sudah kita rusak tadi.
“Saya pernah sampaikan, boleh kita dukung. Tapi pastikan wilayah terdampak seluruh masyarakatnya, kesehatan pendidikan gratis sampai kuliah. Sehingga mereka bisa menjadi pengelola lingkungan selanjutnya”.
“Ajak masyarakat membuat Yayasan atau sejenisnya untuk memastikan, mengawal, mengawas. Kegiatan tambang silahkan lakukan semaksimal dan seefisien mungkin, sehingga hasil tambang ada untuk masyarakat untuk pemberdayaan mereka dan untuk memberikan kesejahteraan mereka. Jadi harus dilihat dari dua sisi itu,” tambahnya.
Baca Juga: Diduga Mencemari Laut, LSM CINDAI Lingga Akan Lapor Pemilik Bauksit ke Gakum KLHK dan Polda Kepri
“Hari ini, masyarakat dan nelayan yang terkena dampak harus mendapatkan benefit yang sustainable. Artinya sustainable bukan dari sisi lingkungan saja, tapi yang utama adalah pastikan kesehatan dan pendidikan. Pengusaha jangan hanya berfikir untuk semata hingga 100%, minimal 10 atau 20% harus diserahkan kepada masyarakat. Bukan hanya 1 atau 2 juta hanya cukup buat makan, tak ada kegiatan tambang juga masyarakat bisa makan,” lanjut Prof Agung.
“Atau bila perlu strateginya adalah, masyarakat menjadi Stockholdernya (pemegang saham). Misalnya begini, jika di sekitar lokasi tambang ada tiga Desa, berapa jumlah keluarga di tiga Desa tersebut. Misalnya ada 1000 KK, sudah kasikan misalnya 20 atau minimal 10% saham perusahan kepada masyarakat. Emang daerah itu punya masyarakat. Sehingga masyarakat bisa secara langsung mengontrol dan mengawas kegiatan tambang tersebut. Ada kepastian benefit yang bisa diterima masyarakat,” tutupnya.
Prof Agung lebih meminta kepada pemangku kepentingan untuk lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait persoalan pengerukan sedimentasi atau rambang pasir lait ini. (Red)