Anambas (cindai.id)_ Heboh berita tentang ditutup sementara kegiatan usaha PT. Pulau Bawah, Anambas oleh pemerintah- Dirjend PSDKP yang diduga disebabkan belum mengantongi beberapa perizinan pada beberapa media lokal hingga nasional, memantik Pengamat Hukum, Sosial dan Pertanahan asal Anambas ini angkat bicara, Minggu (12/03/2023).

Baca Juga: Resort Pulau Bawah Anambas Dipasang Plang Penghentian Sementara
Johari, SH. M.Si, putra asli Jemaja, Kabupaten Kepulauan Anambas ikut menanggapi permasalah resort yang dikelola PT. Pulau Bawah ini. Menurut Johari, permasalahan selain diantaranya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), maka perlu juga kita cermati tentang tatakelola pengelolaan pulau pulau kecil dan penguasaan tanah yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Saya pernah berkunjung ke pulau bawah pada tahun 2018 bersama dengan tim pak Suhajar Diantoro (Sekjen. Kemendagri), terkait pengelolaan daerah perbatasan, berkaitan dengan isyu akses masyarakat nelayan Anambas yang dilarang berteduh ketika musim angin kencang dan menangkap ikan disekitar perairan Pulau Bawah. Solusi yang disepakati pada saat itu adalah dibuat tambatan perahu bagi para nelayan Anambas yang beroperasi sekitar daerah Pulau Bawah,” terang bg Jo (sapaan akrab).
Kala itu juga, terjadi pula kehebohan nasional akibat ditutupnya akses anggota dewan dan masyarakat oleh investor asing dipulau Nias.
Pengelolaan pulau pulau kecil amat spesifik, diatur oleh Undang-undang (UU) 27/2007 jo UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang luasnya dibawah 2000 km2 beserta ekosistemnya. Pengelola tidak boleh menutup akses masyarakat terhadap publik domain. Sempadan pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi kearah darat. Contohnya pantai dan laut sekitarnya.
Menurutnya (Johari _red), pengelolaannya harus memenuhi prinsip keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntibilitas dan keadilan harus diutamakan. Inilah yang harus menjadi acuan dasar manajerial pengelola sesuai aturan yang berlaku.
Bagaimana pula dengan perizinan dan perolehan hak atas tanahnya? Pasal 16 (1) UU 1/2014: Setiap kegiatan pemanfaatan ruang perairan pesisir atau pulau-pulau kecil wajib mengantongi izin lokasi dan pengelolaan.
Hak pengusahaan perairan pesisir atau yang dikenal dengan (HP 3) dapat diberikan kepada pengelola selama 20 tahun (dapat dijaminkan), meliputi pengelolaan permukaan laut kolom air dan permukaan dasar laut (PKKPRL).
“Kesemuanya itu harus mengacu dan sesuai dengan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K),” terang eks Ketua PENGWIL IPPAT Riau 2015-2018 & KORWIL Sumatra PP IPPAT 2015-2018 ini, sekarang Notaris di Kota Batam.
Selain dari itu terdapat pula ketentuan pidana yang diatur pada masing-masing pasal diantaranya:
Pasal 75 undang-undang nomor 1 tahun 2014: mengatur tentang pengabaian izin lokasi sebagai mana diatur pasal 16 (1) dapat dipidana selama 3 tahun dan denda sebesar 500 juta rupiah;
Pasal 75 a mengatur tentang jika pengelola tidak memiliki izin pengelolaan terlebih dahulu sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 19 ayat 1, dapat dipidana selama 4 tahun dan denda 2 miliar rupiah.
Masih menurut Johari, berdasarkan pasal 9 peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN nomor 17 tahun 2016, tentang penataan pertanahan untuk diberikan hak atas wilayah pesisir pulau-pulau kecil dengan ketentuan:
a. Maksimal 70% luas tanah dari luas keseluruhan pulau dapat diberikan hak kepada pengelola, mengacu dan sesuai dengan tata ruang kabupaten provinsi setempat;
b. Sedangkan 30% dari luas pulau harus dicadangkan dan dikuasai langsung oleh negara dengan peruntukan kawasan lindung, area publik atau kepentingan masyarakat;
c. Serta 30% untuk kawasan hutan lindung.
“Inilah yang terindikasi kerap diabaikan dan tidak dipatuhi oleh pengelola. Seluruh pulau dikuasai tanpa ada pencadangan keperluan sebagai mana diatur oleh aturan tersebut diatas,” tuturnya.
Terkait dengan apa yang telah diterangkan di atas tentu saja timbul pertanyaan kita, apakah resort Pulau Bawah dan resort lainnya di Anambas telah memenuhi seluruh ketentuan dan perizinan yang telah diatur oleh pemerintah?
“Jika belum tentu patut diduga telah terjadi kelalaian dan kecerobohan pengelolanya dan kurangnya pengawasan pemerintah KKA. Kita tentu berharap tidak akan ada lagi penutupan sementara kegiatan usaha oleh pemerintah sebagai mana terjadi beberapa waktu lalu, apa lagi terhadap investasi asing di Anambas,” tutupnya.
Kegiatan usaha seperti itu seharusnya menjadi pilar investasi dan dapat tetap terus didukung untuk beroperasi secara benar dan optimal, tentu dengan tidak boleh mengabaikan segala perizinan dan ketentuan yang berlaku di wilayah hukum Republik Indonesia.
Penulis: Redaksi