Opini (Cindai.id) _ Korupsi masih menjadi tantangan besar yang menghambat pembangunan di Indonesia. Meskipun berbagai kebijakan dan lembaga antikorupsi telah dibentuk, praktik korupsi tetap marak terjadi di berbagai sektor.
Sejak awal masa kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan langkah tegas dalam pemberantasan korupsi. Dalam sepuluh hari pertama menjabat, Kejaksaan Agung berhasil menangkap 28 tersangka kasus korupsi, yang menarik perhatian publik serta para pengamat politik.
Baca Juga:
- Aktivis Nelayan Rudi Irwansyah: Tambang Pasir Laut Berpotensi Konflik Horizontal Antar Nelayan
- Saksi Sejarah Tutupnya Tambang Pasir Laut Tahun 2003, Asal Usul Sebutan ‘Kapal Kerok’
Langkah cepat ini mencerminkan keseriusan pemerintahan Prabowo dalam menindak penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu kasus besar yang mencuat adalah skandal korupsi di PT Pertamina (Persero) pada periode 2012–2014. Pada 5 November 2024, polisi menetapkan Luhur Budi Djatmiko sebagai tersangka atas dugaan korupsi dalam pembelian tanah oleh Pertamina.
Transaksi yang melibatkan empat lot dengan total luas 48 ribu hektare tersebut diduga dilakukan tanpa prosedur yang benar, sehingga menyebabkan penyalahgunaan wewenang serta kerugian negara hingga Rp 3,1 triliun.
Penyidik terus mendalami kasus ini untuk mengungkap mekanisme korupsi serta mengidentifikasi pihak lain yang terlibat, baik dari internal Pertamina maupun eksternal. Skandal ini menjadi sorotan publik karena menyangkut pengelolaan aset negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga:
- Prof Agung Dhamar Syakti: Sebagai Pakar Saya Tidak Mendukung Tambang Pasir Laut di Kepri
- Guru Besar IPB University: Kepri Jadi Pelabuhan Terbesar di Dunia atau Pulau Hilang
Korupsi dalam pengadaan tanah berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi negara, sehingga pemerintah dan aparat hukum berupaya menuntaskannya guna memberikan efek jera serta mencegah kejadian serupa di masa depan.
Langkah agresif pemerintahan Prabowo mencerminkan komitmen kuat untuk membersihkan Indonesia dari praktik koruptif. Pemerintah menegaskan bahwa tidak ada toleransi terhadap penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Namun, kenyataan bahwa korupsi masih marak menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum yang memungkinkan penyalahgunaan jabatan.
Menurut teori Runtukahu (2012), tingginya angka korupsi di Indonesia berkaitan erat dengan lemahnya sistem yang disebabkan oleh rendahnya integritas moral. Wihelmus (2017) menjelaskan bahwa korupsi disebabkan oleh faktor internal, seperti moralitas individu, dan faktor eksternal, seperti sistem yang longgar dan lingkungan kerja permisif.
Baca Juga:
- Terkait Sedimentasi atau Tambang Pasir Laut, Sekjen KIARA Minta Menteri KKP Diganti
- Tambang Pasir Laut, Untung Sementara atau Nelayan Merana Selamanya?
Korupsi tidak hanya berkaitan dengan hukum dan tata kelola, tetapi juga erat hubungannya dengan moralitas, keimanan, dan nilai kejujuran. Banyak pelaku korupsi lebih mementingkan kepentingan pribadi dibanding menjalankan tugas dengan integritas. Selain itu, lingkungan kerja yang permisif, lemahnya pengawasan, dan tidak adanya sanksi tegas turut memperbesar peluang terjadinya korupsi.
Penangkapan 28 koruptor oleh pemerintahan Prabowo menunjukkan bahwa meskipun upaya pemberantasan korupsi digencarkan, sistem yang ada belum cukup kuat untuk menutup celah-celah korupsi. Masih adanya praktik korupsi di berbagai sektor menandakan perlunya perbaikan dalam pengawasan, tata kelola, dan penegakan hukum.
Konsistensi dalam penegakan hukum sangat penting, mengingat banyak kasus korupsi yang hanya ditindak tegas di awal pemerintahan namun kehilangan momentum setelahnya. Pemberantasan korupsi tidak boleh hanya menjadi bagian dari pencitraan politik. Intervensi politik juga menjadi ancaman karena korupsi kerap melibatkan aktor politik berpengaruh.
Penegakan hukum harus independen agar pemberantasan korupsi tidak bersifat tebang pilih. Selain itu, reformasi birokrasi menyeluruh perlu dilakukan untuk menutup celah penyalahgunaan kekuasaan.
Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan sistematis dan menyeluruh. Langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain penguatan institusi hukum seperti KPK dan Kejaksaan Agung agar tetap independen dan memiliki kewenangan penuh.
Reformasi sistem pemerintahan melalui digitalisasi pengelolaan anggaran serta penerapan kebijakan transparansi juga harus dilakukan. Hukuman bagi koruptor perlu diperketat untuk memberi efek jera, termasuk penyitaan aset dan larangan berpolitik seumur hidup. Pendidikan antikorupsi sejak dini di sekolah dan lingkungan kerja juga perlu digalakkan guna membangun budaya antikorupsi yang kuat.
Gebrakan awal pemerintahan Prabowo dalam menangkap puluhan koruptor membawa harapan baru bagi Indonesia. Namun, tanpa reformasi sistemik dan konsistensi dalam penegakan hukum, langkah ini hanya akan menjadi simbol tanpa perubahan nyata. Pemerintah harus membuktikan bahwa pemberantasan korupsi adalah komitmen jangka panjang, bukan sekadar retorika politik belaka.