Oleh: Tommy Jureli, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji | Opini
Opini (Cindai.id) _ Korupsi telah menjadi perhatian Internasional. World Bank mendefinisikan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Definisi ini ditetapkan oleh World Bank pada tahun 2000 dan menjadi standar internasional.
Selain itu, Transparency International, lembaga nonpemerintah berskala internasional, juga mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Korupsi terutama paling banyak terjadi di Negara-Negara berkembang dengan SDM yang rendah dan memiliki potensi SDA yang tinggi. Untuk itu PBB memberikan perhatian terhadap fenomena korupsi hingga dilaksanakan sebuah Konvensi yakni UNCAC.
UNCAC adalah singkatan dari United Nations Convention Against Corruption, atau Konvensi PBB Antikorupsi. UNCAC merupakan perjanjian multilateral antikorupsi internasional yang mengikat secara hukum. Konvensi ini ditandatangani pada 18 Desember 2003 di Merida, Mexico.
UNCAC berisi panduan untuk pemberantasan korupsi, termasuk: Pencegahan, Perumusan jenis-jenis kejahatan yang termasuk korupsi, Proses penegakan hukum, Ketentuan kerja sama internasional, Mekanisme pemulihan aset.
Indonesia meratifikasi UNCAC pada 19 September 2006 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Indonesia bisa memanfaatkan isi dari konvensi tersebut untuk menyelesaikan masalah korupsi, baik yang terjadi di dalam negeri maupun lintas negara.
POKOK-POKOK ISI KONVENSI
Lingkup Konvensi pembukaan dan batang tubuh yang terdiri atas 8 (delapan) bab dan 71 (tujuh puluh satu) pasal dengan sistematika sebagai berikut:
– Bab I : Ketentuan Umum, memuat Pernyataan Tujuan; Penggunaan Istilah-istilah; Ruang lingkup Pemberlakuan; dan Perlindungan Kedaulatan.
Bab II : Tindakan-tindakan Pencegahan, memuat Kebijakan dan Praktek Pencegahan Korupsi; Badan atau Badan-badan Pencegahan Korupsi; Sektor Publik; Aturan Perilaku Bagi Pejabat Publik; Pengadaan Umum dan Pengelolaan Keuangan Publik; Pelaporan Publik; Tindakan-tindakan yang Berhubungan dengan Jasa-jasa Peradilan dan Penuntutan; Sektor Swasta; Partisipasi Masyarakat; dan Tindakan-tindakan untuk Mencegah Pencucian Uang.
– Bab III : Kriminalitas dan Penegakan Hukum, memuat Penyuapan Pejabat-pejabat Publik Nasional, Penyuapan Pejabat-pejabat Publik Asing dan Pejabat-pejabat Organisasi- Organisasi Internasional Publik; Penggelapan, Penyalahgunaan atau Penyimpangan lain Kekayaan oleh Pejabat Publik; Memperdagangkan Pengaruh; Penyalahgunaan Fungsi; Memperkaya Diri Secara Tidak Sah; Penyuapan di Sektor Swasta; Penggelapan Kekayaan di Sektor Swasta; Pencucian Hasil-Hasil Kejahatan; Penyembunyian; Penghalangan Jalannya Proses Pengadilan; Tanggung Jawab Badan-badan Hukum; Keikutsertaan dan Percobaan; Pengetahuan, Maksud dan Tujuan Sebagai Unsur Kejahatan; Aturan Pembatasan; Penuntutan dan Pengadilan, dan Saksi-saksi; Pembekuan, Penyitaan dan Perampasan; Perlindungan para Saksi, Ahli dan Korban; Perlindungan bagi Orang-orang yang Melaporkan; Akibat-akibat Tindakan Korupsi; Kompensasi atas Kerugian; Badan-badan Berwenang Khusus; Kerja Sama dengan Badan-badan Penegak Hukum; Kerja Sama antar Badan-badan Berwenang Nasional; Kerja Sama antara Badan-badan Berwenang Nasional dan Sektor Swasta; Kerahasian Bank; Catatan Kejahatan; dan Yurisdiksi.
– BAB IV : Kerja Sama Internasional. memuat Ekstradisi; Transfer Narapidana; Bantuan Hukum Timbal Balik; Transfer Proses Pidana; Kerja Sama Penegakan Hukum; Penyidikan Bersama; dan Teknik-teknik Penyidikan Khusus.
– BAB V : Pengembalian Aset, memuat Pencegahan dan Deteksi Transfer Hasil-hasil Kejahatan; Tindakan-tindakan untuk Pengembalian Langsung atas Kekayaan; Mekanisme untuk Pengembalian Kekayaan melalui Kerja Sama Internasional dalam Perampasan; Kerja Sama Internasional untuk Tujuan Perampasan; Kerja Sama Khusus; Pengembalian dan Penyerahan Aset; Unit Intelejen Keuangan; dan Perjanjian-perjanjian dan Pengaturan-pengaturan Bilateral dan Multilateral.
– BAB VI : Bantuan Teknis dan Pertukaran Informasi, memuat Pelatihan dan Bantuan Teknis; Pengumpulan, Pertukaran, dan Analisis Informasi tentang Korupsi; dan Tindakan-tindakan lain; Pelaksanaan Konvensi melalui Pembangunan Ekonomi dan Bantuan Teknis.
– BAB VII : Mekanisme-mekanisme Pelaksanaan, memuat Konferensi Negara-negara Pihak pada Konvensi; dan Sekretariat.
– BAB VIII : Ketentuan-ketentuan Akhir, memuat Pelaksanaan Konvensi; Penyelesaian Sengketa; Penandatanganan, Pengesahan, Penerimaan, Persetujuan, dan Aksesi;
Pemberlakuan; Amandemen; Penarikan Diri; Penyimpanan dan Bahasa-bahasa Upaya pemberantasan korupsi Di dalam negeri teruta a dilakukan secara intens pasca reformasi dengan lahirnya undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang secara tegas mencabut dan menggantikan undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, undang-undang nomor 20 tahun 2001 yang mengubah dan menambahkan beberapa pasal yang sudah ada dalam undang-undang sebelumnya. Selanjutnya pada tahun 2006, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Antikorupsi PBB dengan undang-undang nomor 7 tahun 2006. Oleh karena Indonesia menganut system hukum internasional dualism maka setiap aturan Internasional (termasuk Konvensi) haruslah diratifikasi terlebih dahulu untuk menjadi hukum nasional. Tidak seperti konvensi lainnya yang merumuskan unsur-unsur suatu kejahatan atau definisi mengenai suatu kejahatan, UNCAC tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan korupsi. Akan tetapi, dalam Bab III UNCAC terkait kriminalisasi dan penegakan hukum, terdapat beberapa perbuatan yang dikriminalisasikan sebagai korupsi, antara lain Penyuapan, Penggelapan, Memperdagangkan pengaruh, Memperkaya, Pencucian uang dan Penghalangan penyidikan.
Perjanjian Internasional United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) telah disepakati oleh 140 Negara pada Tanggal 31 Oktober 2003. UNCAC Meliputi serangkaian pedoman bagi negara-negara Anggota dalam melaksanakan pemberantasan korupsi diantaranya: upaya pencegahan, perumusan jenis-jenis kejahatan yang termasuk korupsi, proses penegakan hukum, ketentuan kerjasama internasional serta mekanisme pemulihan aset yang utamanya bersifat lintas negara (Solo Pos, 2019).
Sebagai salah satu negara yang menandatangani perjanjian internasional, Indonesia menunjukkan komitmennya dengan meratifikasi UNCAC melalui Undang-undang nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan UNCAC. Hal tersebut bertujuan untuk mengikatkan diri kepada ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya. Sehingga sebagai negara yang terikat Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan yang telah disepakati negara anggota perjanjian internasional tersebut.
Melihat kesungguhan Indonesia dalam melakukan pemberantasan korupsi dan mengimplementasikan UNCAC dalam peraturan perundang-undangan nasional, Indonesia terpilih sebagai salah satu negara yang dijadikan Pilot Project dalam implementasi, yang mana membuat Indonesia bersedia direview oleh negara lain. Dalam hal ini negara yang melakukan review adalah Belanda dan Jordania.
Berbagai mekanisme telah diatur yakni melalui pengumpulan data dan review. Pengumpulan data hasil implementasi dilakukan melalui kuesioner check list, laporan yang disusun oleh negara peserta, self asessment, open source maupun kunjungan ke negara yang dimonitor (country visit). Terdapat dua mekanisme review yang dikembangkan yakni review oleh lembaga yang dianggap independen maupun melalui peer review. Peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan Ketentuan UNCAC akan diberikan suatu Analisa yang ditujukan untuk memperbaiki ketentuan yang dalam hukum Indonesia, berikut merupakan beberapa GAP Analysis UNCAC dengan Hukum Indonesia :
- Penyuapan Pejabat Publik Luar Negeri dan Pejabat Publik Organisasi Internasional,Konsep kriminalisasi penyuapan pejabat publik luar negeri belum tercantum dalam hukum Indonesia. Dalam pasal ini, tindakan-tindakan yang perlu dikriminalisasikan adalah pengundangan (solicitation) suap oleh pejabat publik luar negeri/organisasi internasional serta penawaran suap kepada pejabat publik luar negeri/organisasi internasional oleh pihak manapun. Berkaitan dengan konsep ini sebenarnya terlah diberlakukan di negara maju, terutama di Amerika setelah dikeluarkannya UU Praktek Korupsi Luar Negeri (FCPA). Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa ketentuan ini perlu dibuat eksplisit dalam UU Anti-korupsi, karena ketentuan ini akan merubah subyek dari UU tersebut, sehingga mencakup pengaturan tindak pidana suap oleh seorang warga asing pejabat publik/organisasi internasional di Indonesia, serta warga negara Indonesia yang melakukan penyuapan warga asing pejabat publik/organisasi internasional di negara asing (KPK, 2007).
- Kemudahan yang didapat secara Korupsi (Undue Advantage).Gap Analysis membandingkan ketentuan ini dengan Pasal 3 UU No. 31/99. Perbedaan utama antara ketentuan ini dengan pasal tersebut adalah bahwa ketentuan ini menghimbau dipidanakan nya penerimaan serta penawaran “undue advantage”, yaitu suatu ‘kemudahan’ dari pihak publik yang berwenang: pasal 3 UU 13/99 memerlukan adanya kerugian negara sebelum seseorang dapat dipidanakan, sementara dalam ketentuan UNCAC ini tidak perlu ada kerugian negara, hanya adanya penawaran/penerimaan suatu ‘kemudahan’ dari seorang pihak publik yang berwenang. Gap Analysis berpendapat bahwa definisi “undue advantage” perlu dimasukkan dalam amandemen UU anti-korupsi.
- Kekayaan Tidak Sah (Illicit Enrichment) Konsep ancaman hukuman pidana kepada pejabat publik yang tidak dapat memberi keterangan atas kekayaan yang dimilikinya belum eksplisit dalam Peraturan perundang-undangan nasional, walaupun prinsipnya sudah tercakup dalam pasal 2 UU No. 31/99. Gap Analysis berpendapat bahwa harmonisasi dengan ketentuan ini sangat diperlukan demi memberi ‘gigi’ peraturan LHKPN yang kini ada, dan menambah bahwa ketentuan ‘asas pembuktian terbalik’ dalam konteks ‘illicit enrichment’ sudah dimasukkan dalam amandemen UU Anti-korupsi.
- Penyuapan di Sektor Swasta UU Anti-korupsi Indonesia versi sekarang belum mencakup pemidanaan oleh KPK suatu TPK yang murni dilakukan pihak swasta. Pasal 21 UNCAC ini mengatur ketentuan kriminalisasi pemberian dan permintaan “undue advantage” dari atau kepada suatu entitas swasta, dan entitas tersebut adalah subyek dari ketentuan kriminalisasi ini. Gap Analysis merekomendasi bahwa entitas sektor swasta yang banyak berkecimpung dalam aktivitas yang menyangkut ekonomi negara, bidang keuangan, dan komersil, paling beresiko korupsi; saat ini, pasal 2 atau 3 UU No. 31/99 j.o. UU No. 20/01 hanya menyentuh pihak swasta yang berhubungan dengan suatu tindak korupsi oleh pejabat negara/penegak hukum, jadi konsep utama pasal ini, yaitu mengkriminalisasikan TPK yang murni terjadi di sektor swasta, belum diundang-undangkan.
Dari uraian diatas terlihat bahwasannya kedudukan UNCAC dapat mengurangi dan meminimalisir tindak pidana Korupsi yang ada di Indonesia. Mengingat saat ini tindak pidana tersebut semakin merajalela dan tidak pandang bulu. Oleh karenanya diharapkan pemerintah dapat mengadopsi ketentuan-ketentuan yang terdapat di UNCAC sesegera mungkin guna menekan jumlah perkara korupsi dan meningkatkan kesejahteraan Indonesia.
Pertanyaan terkait implementasi UNCAC, apakah UNCAC yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dapat serta merta berlaku di Indonesia sebagai instrumen pemberantasan korupsi ataukah UNCAC yang telah diratifikasi harus disesuaikan dengan undang-undang nasional baru kemudian dapat diberlakukan ? Berdasarkan berbagai uraian di atas, Penulis berpendapat bahwa UNCAC dapat serta merta diimplementasikan sebagai instrumen pemberantasan korupsi. Paling tidak ada tujuh argumentasi sebagai analisis teoretis untuk memperkuat pendapat tersebut. Pertama, berdasarkan UNCAC, korupsi adalah kejahatan internasional. Artinya, berlaku asas universal dalam hukum pidana bahwa setiap negara wajib melakukan penuntutan dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan internasional. Kedua, ratifikasi UNCAC oleh Pemerintah Indonesia tentunya sudah didasarkan pada pertimbangan yang matang bahwa isi konvensi tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi negara yang sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi. Ketiga, ratifikasi yang dilakukan terhadap UNCAC berlaku sebagai self executing treaty. Artinya, dapat serta merta diberlakukan sebagai hukum positif.
Keempat, ratifikasi suatu konvensi internasional tunduk pada prinsip umum hukum internasional yakni pacta sunt servanda yang berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat ibarat undang-undang. Di dalam asas pacta sunt servanda tercakup asas keadilan dan itikat baik untuk melaksanakan isi suatu perjanjian atau konvensi yang telah diratifikasi. Kelima, dalam konteks hubungan antara hukum pidana internasional dengan hukum pidana nasional, hukum pidana internasional berfungsi sebagai pelengkap terhadap hukum pidana nasional, bilamana aturan-aturan yang berada dalam konvensi internasional yang telah diratifikasi belum diatur dalam undang-undang nasional. Sebagai tambahan pada argumentasi ini, bahkan ditegaskan dengan mengikuti UNCAC maka Indonesia akan memiliki kerjasama internasional yang lebih baik dengan Negara lain dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Keenam, berdasarkan asas hukum pidana internasional yakni asas civitas maxima secara tegas menyatakan bahwa hanya ada satu system hukum universal yang dianut oleh semua bangsa di dunia dan harus dihormati serta dilaksanakan. Ketujuh, korupsi sebagai kejahatan internasional yang merupakan substansi dari hukum pidana internasional dalam hubungan dengan paham monisme dan paham dualisme, hukum pidana internasional lebih menitikberatkan pada paham monisme bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum berupa kaidah-kaidah yang mengikat individu, negara maupun kesatuan lainnya yang bukan negara. (Red)