Kepri (Cindai.id) _ Seberapa besar Multiplayer Effect (dampak ekonomi) dari pengerukan sedimentasi atau penambangan pasir laut di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) untuk kesejahteraan nelayan?
Kata-kata awal yang diucapkan oleh salah satu aktivis nelayan Kepri, Rudi Irwansyah, S.E disaat tatap muka dengan redaksi media Cindai.id.

Baca Juga: Saksi Sejarah Tutupnya Tambang Pasir Laut Tahun 2003, Asal Usul Sebutan ‘Kapal Kerok’
Sebelumnya tepatnya pada Kamis 15 Mei 2025, Rudi Irwansyah yang juga sedang menjabat sebagai Ketua TIDAR (organisasi sayap Partai Gerindra) Kota Tanjungpinang ini memimpin ratusan nelayan se – Pulau Bintan melakukan aksi damai di depan Gedung Daerah (Kediaman Dinas Gubernur dan Wakil Gubernur) Provinsi Kepri dengan salah satu poin tuntutannya adalah menolak pengerukan sedimentasi atau tambang pasir laut.
“Sesuai dengan komitmen dan sumpah penasehat Tidar, bapak Prabowo Subianto (Presiden RI) saat kampanye beliau menyatakan ‘Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Dan beliau menyatakan dirinya sebagai Presiden Nelayan, itu menjadi dasar dan semangat pergerakan kami,” ungkapnya.

“Pengelolaan sedimentasi yang digadang-gadangkan akan dilaksanakan di perairan Kepri. Akankah berdampak positif bagi ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat yang terdampak langsung seperti nelayan dan masyarakat pesisir. Ataukah hanya dinikmati oleh sekelompok orang ataupun oligarki,” tanya Rudi.
Baca Juga: Prof Agung Dhamar Syakti: Sebagai Pakar Saya Tidak Mendukung Tambang Pasir Laut di Kepri
Menurut mantan pengurus Karang Taruna ini, diketahui ada beberapa perusahaan yang sudah memiliki izin pengerukan sedimentasi atau tambang pasir laut dibeberapa titik di Provinsi Kepri. Diantaranya perairan Bintan, Lingga, Karimun dan Batam.
Rudi juga meminta kepada pemerintah daerah maupun pusat untuk mengkaji secara komprehensif tentang seberapa besar dampak ekonomi yang diterima masyarakat akibat eksploitasi pasir laut nantinya, berapa banyak kebutuhan tenaga kerja ,dan apakah dengan kompensasi yang dijanjikan dapat lebih mensejahterakan masyarakat yang terdampak.

“Karna ini menjadi tanggung jawab perusahaan pengelolaan pasir laut di Indonesia sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat,” tambahnya.
Baca Juga: Guru Besar IPB University: Kepri Jadi Pelabuhan Terbesar di Dunia atau Pulau Hilang
“Karna kegiatan tersebut berdampak langsung bagi masyarakat khususnya nelayan dan masyarakat pesisir. Salah satu dampak langsung dari kegiatan pengelolaan sedimentasi adalah berkurangnya ketersediaan sumber daya ikan, rusaknya ekosistem pantai terutama berkurangnya fitoplankton dan zooplakton sebagai makanan ikan,” lanjut Ketua HNSI Kota Tanjungpinang ini.
Lebih lanjut Rudi menjelaskan, berdasarkan data yang sudah dikeluarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan, jumlah nelayan se – Kepri mencapai 31.556. Belum lagi yang tidak terdata dan mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan. Ini potensi konflik horizontal.
“Bayangkan, nelayan Bintan, Lingga, Karimun dan Batam dengan atau tidak melalui persetujuan mereka, wilayah perairan mereka digarap para penambang laut. Nah mereka mau tidak mau, suka tidak suka akan melaut di perairan lain seperti di Natuna atau Anambas”.
Baca Juga: Terkait Sedimentasi atau Tambang Pasir Laut, Sekjen KIARA Minta Menteri KKP Diganti
“Nah, apakah nelayan di Natuna dan Anambas akan terima jika perairan mereka digarap ramai-ramai oleh nelayan dari luar daerah mereka? Belum lagi masuk nelayan dari pulau Jawa dan lainya. Pasti akan muncul konflik. Bahasa nelayan Natuna dan Anambas ‘Lah, perairan kalian, kalian izinkan ada tambang, setelah rusak, kalian mencari ditempat kami’, itu bisa saya pastikan akan terjadi,” tegas Rudi.
Masih menurut Ketua HNSI Tanjungpinang ini, aktifitas nelayan dan masyarakat pesisir akan mengalami pengurangan pendapatan secara ekomoni. Disatu sisi perusaan pengelolaan sidementasi menjanjikan konpensasi bagi masyarakat yang terdampak. Nilai konpensasi itu apakah sudah di kaji dengar benar. Karna dampak dari kegiatan ini bukan hanya saat berproduksi, tapi pasca produksi juga akan mengalami dampak yang berkepanjangan bagi masyarakat.
“Kajian kajian dampak lingkungan itu harus transparan. Dijelaskan ke masyarakat, berapa lama dampak yang akan timbul, apa saja dampaknya bagi ekonomi masyarakat. Jangan hanya di iming-iming kompensasi saja. Masyarakat perlu dicerdaskan terkait penambangan tersebut. Apakah kedepan nanti masyarakat dibina dalam pengembangan ekonomi baru. Apakah mungkin dengan peningkatan kapal-kapal bagi nelayan sehingga bisa melakukan penangkapan jauh dari lokasi penambangan dan banyak lagi hal lainnya,” tegasnya.
Baca Juga: Tambang Pasir Laut, Untung Sementara atau Nelayan Merana Selamanya?
“Jangan habis manis sepah dibuang, habis sedimentasi tinggalkan perairan keruh dan karang yang mati. Nasib pengusaha semakin terang, nasib nelayan tinggal makan belacan. Ikan pun dah berkurang jelas menambah utang,” ungkap Rudi dengan sedikit nada kesal.
Rudi berharap persoalan pengerukan sedimentasi dan tambang pasir laut ini sebelum terlaksana, sebaiknya semua pihak terkait untuk duduk kembali. Bukan hanya menahan kompensasi satu atau dua juta yang sifatnya sementara untuk nelayan. Namun juga potensi-potensi negatif yang bisa timbul akibat kegiatan tersebut. Sehingga bisa dibahas bersama, solusi dan jalan keluarnya. Sehingga semua pihak bisa merasakan dampaknya. (Red)